Cara Ibadah Orang Yang Buta

0
1088

Islam sebagai agama yang penuh dengan rahmat memberikan perhatian besar terhadap semua jenis individu masyarakat. Orang-orang yang Allâh ta’ala uji dengan cacat fisik, seperti buta, tak luput dari perhatian Islam. Realisasi dari perhatian ini, misalnya dengan memotivasi agar bersabar supaya bisa meraih pahala besar. Allâh ta’ala berfirman :

إِنَّهُۥ مَن يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ ٱللّٰهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ

” Sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allâh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik ( QS. Yûsuf/13:90 ).

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam  bersabda :

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ أَذْهَبْتُ حَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ وَاحْتَسَبَ لَمْ أَرْضَ لَهُ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ

” Allâh berfirman: Siapa yang Aku hilangkan kedua matanya lalu bersabar dan mengharap pahala, maka aku tidak ridha memberikan pahala kepadanya selain syurga. ( HR. Tirmidzi no. 2325 dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb )

Dalam riwayat Imam Bukhâri :

إِنَّ اللَّهَ قَالَ إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ

” Sesungguhnya Allâh k berfirman, ” Apabila Aku menimpakan kebutaan kepada hamba-Ku lalu ia bersabar maka aku gantikan kedua matanya dengan syurga. (HR. Bukhâri, no. 5221).

Saat menjelaskan hadits ini, al-Hâfizh Ibnu Hajar Rahimahullahu menyatakan, ” Ini termasuk imbalan yang paling agung, karena kesempatan menikmati (keindahan) dengan mata akan sirna dengan sebab musnahnya dunia sementara kenikmatan syurga akan kekal dengan sebab kekalnya syurga. Memang indra penglihatan adalah indra yang paling disukai manusia. Dengan kehilangan keduanya sangat membuat duka karena tidak dapat melihat semua yang diinginkannya berupa kebaikan yang menyenangkannya atau keburukan yang dia dapat jauhi, sehingga bersabar atas kehilangannya adalah sangat berat sekali. [ Dinukil dari Manârul Qâri Syarh Mukhtashar Shahihil Bukhâri, Hamzah Muhammad Qaasim 5/201.]

Demikian besarnya perhatian islam terhadap orang buta, lalu bagaimana mereka beribadah apakah hukum-hukumnya sama dengan yang tidak buta?

Cara Ibadah Orang Yang Buta

Pada dasarnya, dalam ibadah mahdhah ( Ibadah murni seperti shalat, puasa ), orang buta sama dengan orang-orang yang dapat melihat. Namun ada beberapa tuntunan praktis yang disusun oleh para Ulama untuk orang-orang buta dalam menjalaankan ibadah mereka, diantaranya :

Dalam Masalah Thaharah ( Bersuci )

1. Apabila hendak menggunakan air lalu ada yang memberitahukannya bahwa air itu sudah najis, maka ia harus menerima pemberitahuan tersebut dengan syarat ada penjelasan sebab najisnya dan tidak berijtihad sendiri. Inilah pendapat mayoritas Ulama

2. Apabila ada dua bejana (wadah air), salah satunya najis dan yang lainnya suci, lalu orang buta tersebut bingung menentukan mana yang najis, padahal dia akan shalat. Jika demikian, maka ia diperbolehkan berijtihâd dan bersuci berdasarkan dugaan terkuatnya ( ghalabatuzh-zhan ) dengan cara memaksimalkan indra lain yang masih berfungsi. Inilah pendapat yang rajih dari tiga pendapat para Ulama. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah dan Syâfi’iyah.

3. Bila bingung memilih bejana yang suci, karena ada dua bejana yang satu suci yang lainnya najis, maka diperbolehkan orang buta untuk berijtihad dan berusaha memilih dengan sarana dan indera yang dimilikinya.

4. Apabila orang buta bingung memilih pakaian yang akan dikenakannya antara yang suci dan yang najis, maka ia berijtihâd dan berusaha semampunya untuk memilih lalu shalat dengan pakaian yang dianggapnya suci. Inilah pendapat mayoritas Ulama. Ini boleh dilakukan karena ia telah berbuat sesuai kemampuannya.

Allâh ta’ala berfirman :

لَا يُكَلِّفُ ٱللّٰهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

” Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ( QS al-Baqarah/2:286 )

Dalam Masalah Waktu Ibadah

Ada beberapa masalah seputar mengenal waktu ibadah bagi orang buta, diantaranya:

A. Hukum berijtihad untuk mengetahui waktu shalat

Dalam masalah ini, empat madzhab fikih terkenal yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memandang bahwa masuk waktu merupakan syarat sah shalat. Seandainya ia ragu, apakah sudah masuk waktu shalat atau belum ? Maka ia tidak boleh melakukan shalat sampai ia yakin bahwa waktu shalat sudah tiba.

Imam Nawawi Rahimahullah dalam al-Majmû’ menyatakan, “( Ketika tidak mengetahui waktu shalat ), Orang buta terkena kewajiban yang sama dengan orang yang melihat … Orang buta berijtihad seperti orang yang melihat dalam masalah waktu shalat jika tidak ada orang tsiqah yang menyaksikan ( waktu shalat ) lalu memberitahukannya, …. (jika orang tsiqah yang memberitahukannya) maka ia tidak boleh berijtihad dan wajib melaksanakan berita tersebut. [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 2/72-73]

Ibnu Qudamah al-Maqdisi Rahimahullah menandaskan, ” Orang buta apabila ragu tentang apakah waktu shalat telah tiba atau belum ? Maka ia tidak boleh shalat sampai ia yakin atau hampir yakin bahwa waktu shalat telah masuk, sebagaimana orang yang melihat ( tidak buta ).[ al- Mughni, 1/387]

Demikian juga Ibnu Najjâr Rahimahullah dalam kitab Syarhu Muntahal Irâdât menyatakan, ” Orang yang tidak tahu waktu, sehingga tidak tahu apakah waktu shalat telah masuk atau belum ? Dan tidak bisa menyaksikan tanda-tanda masuk waktu karena buta atau ada halangan tertentu serta tidak ada yang memberitahukannya dengan yakin, maka ia boleh shalat apabila menganggap waktu telah masuk dengan dasar ijtihad atau mengukur waktu dengan tempo satu pekerjaan atau bacaan al-Qur’an, karena itu adalah perkara ijtihad sehingga cukup dengan anggapan kuat saja.[ Syarah Muntahal Iradât 1/137]

B. Apabila ada seorang tsiqah (kredibel) memberitahukan masuknya waktu apakah orang buta taklid kepadanya ?

Para Ulama madzhab hanafiyah, malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memandang bahwa ketika ada orang yang tsiqah memberitahukan tentang masuknya waktu shalat dengan dasar ilmu, maka pemberitahuannya wajib diterima, sebagaimana penjelasan di bawah ini :

Imam Ibnu Abidin seorang Ulama madzhab Hanafiyah ( Pengikut Imam Abu Hanifah ) menjelaskan, ” Para imam kami menjelaskan bahwa ucapan orang yang adil (takwa) dalam masalah-masalah agama diterima seperti berita tentang arah kiblat, thahârah ( kesucian ), najis, halal dan haram. Dengan ini jelas, bahwa berita tentang masuknya waktu shalat termasuk ibadah sehingga princian di atas bisa dijadikan pedoman. Seorang muadzdzin cukup ( diterima ) pemberitahuannya tentang waktu shalat apabila ia seorang baligh, berakal, mengetahui waktu, muslim, lelaki dan ucapannya dipercaya.[ Hasyiyah Raddul Mukhtâr 1/370]

Imam Muhammad bin Muhammad al-Khatthâb ar-Ra’ini seorang Ulama madzhab Malikiyah ( Pengikut Imam Malik ) dan penulis kitab Mawâhibul Jalîl Syarah Mukhtashar al-Khalîl menyatakan, ” Taklid kepada muadzdzin yang adil ( bertakwa ) yang mengetahui waktu shalat itu diperbolehkan dan pemberitahuannya (tentang masuknya waktu shalat) bisa diterima.[ 1/286]

Imam Nawawi Rahimahullah dalam al-Majmu’ juga menyatakan, ” Apabila seseorang memberitahukan apa yang dia lihat dengan mengatakan, ” Aku melihat fajar telah terbit atau syafaq ( warna kemerahan setelah matahari terbit ) telah hilang”, maka (orang yang mendengarnya) tidak boleh berijtihad dan wajib melaksanakan berita tersebut.[ 3/70]

Imam Ibnu Qudâmah Rahimahullah menyatakan, ” Apabila seorang tsiqah memberitahukan ( waktu shalat ) dengan dasar ilmu maka pemberitahuannya dilaksanakan.” [ al-Mughni 1/287.]

c. Orang buta berijtihad untuk mengetahui waktu puasa dan berbuka puasa pada bulan Ramadhân

Orang buta diperbolehkan untuk berijtihad dan taklid kepada orang lain, karena dalam masalah ini, puasa dan waktu-waktu shalat hukumnya sama. Inilah yang dirajihkan (dinilai kuat) oleh imam as-Suyuthi t dan beliau t menisbatkan pendapat ini kepada madzhab Syâfi’iyah.[ Lihat al-Asybâh wan Nazhâir, hlm. 523]

Dalam Masalah Penentuan Kiblat

Menurut pendapat yang rajih, orang yang buta diperbolehkan untuk berijtihad dalam menetukan arah kiblat dan berusaha mencarinya dengan indra yang dimilikinya. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan Hanabilah. Kenapa demikian ? Karena orang buta masih memiliki kemampuan dan masih memiliki indra lain yang dapat digunakan untuk menentukan kiblat. Sehingga tidak harus meraba-raba tembok masjid dan mimbar, apabila kemudian shalat kearah bukan kiblat lalu ada yang membenarkannya maka ia berputar kearah yang benar dan meneruskan shalatnya hingga sempurna.[ Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/304]

Masih menurut mayoritas Ulama fikih, orang yang tidak bisa mengenal arah kiblat karena tidak bisa belajar lantaran tidak memiliki kemampuan atau tidak ada yang mengajarinya padahal waktunya sempit atau orang buta, maka yang wajib baginya adalah taklid (mengikuti orang lain).

Dasar pendapat ini adalah firman Allâh Ta’ala :

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

” Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui ( QS. an-Nahl/16:43 )

Dalam Masalah Mengumandangkan Adzan dan Menjadi Imam Shalat

Para Ulama ahli fikih memandang bahwa adzan yang dikumandangkan oleh orang buta itu sah, apabila ada orang yang mengingatkan tentang masuknya waktu shalat. Pendapat ini berdasarkan beberapa riwayat berikut ini:

1. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ: وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ

” Sesungguhnya Rasûlullâh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ” Jika Bilal Radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” Kemudian Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘ Beliau adalah orang buta yang tidak akan mengumandangkan adzan sampai ada yang mengatakan kepadanya, ‘ Waktu Shubuh telah tiba ! Waktu Shubuh telah tiba ! ( HR al-Bukhâri, no. 582 )

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha :

كَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ يُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ أَعْمَى

” Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan untuk Rasûlullâh padahal beliau buta ( HR. Muslim, no. 871 )

Namun bila melihat perkembangan teknologi saat ini, maka orang buta dapat mengumandangkan adzan dengan benar dengan bantuan prangkat untuk mengetahui waktu adzan. Disamping itu juga banyaknya masjid yang menggunakan loudspeaker bisa membantu orang buta dalam mengetahui wakut shalat. Wallâhu a’lam.

Masalah orang buta menjadi imam dalam shalat

Mayoritas Ulama fikih juga memandangnya boleh. Ini berdasarkan beberapa hadits berikut :

1. Hadits Mahmud bin ar-Rabî’ yang berbunyi :

أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى وَأَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ وَالسَّيْلُ وَأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ فَصَلِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي بَيْتِي مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلَّى فَجَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ مِنْ الْبَيْتِ فَصَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

” Sesungguhnya ‘Itbân bin Mâlik dulu mengimami kaumnya padahal beliau buta. Beliau berkata kepada Rasûlullâh n , “Wahai Rasûlullâh sesungguhnya terjadi kegelapan dan banjir padahal saya buta. Wahai Rasûlullâh ! shalatlah di rumahku di satu tempat yang akan aku jadikan sebagai tempat shalatku.’ Rasûlullâh shalallahu ‘alaihi wa salam datang dan bertanya, ‘ Kamu menginginkan saya shalat dimana ?’ ‘Itbân Radhiyallahu ‘anhu memberi isyarat ke satu tempat dirumahnya. Kemudian Rasûlullâh n shalat di sana. ( HR. al-Bukhâri no. 625 )

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّي بِالنَّاسِ

” Sesunggunya Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk kota madinah dan mengimami orang shalat. ( HR Ibnu Hibbân dalam shahihnya no. 2134 dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth menyatakan, sanadnya shahih sesuai syarat shahihain )

3. Hadits Anas bin Mâlik yang berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ يَؤُمُّ النَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى

” Sesunggunya Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat Ibnu Ummi Maktum ( untuk kota Madinah ), mengimami shalat padahal beliau buta. ( HR Abu Daud no. 503 dan dinilai Hasan Shahih oleh syaikh al-Albani )

Yang rajih, status imam orang buta dengan yang tidak buta sama. Inilah pendapat imam Syâfi’i rahimahullah .

Dalam Masalah Shalat Jum’at

Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat jum’at bagi orang buta dalam dua pendapat :

1. Shalat Jum’at tidak wajib bagi orang buta walaupun ada yang menuntunnya, baik dengan sukarela ataupun dibayar. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Beliau rahimahullah beralasan, orang buta tidak mampu berjalan untuk menghadirinya seorang diri. Alasan lain, hukum orang buta sama dengan orang sakit yang sama-sama mengalami kesulitan dan kesusahan untuk pergi menghadiri shalat Jum’at.

2. Shalat Jum’at wajib bagi yang buta bila ada yang menuntunnya, baik sukarela ataupun dibayar. Inilah pendapat jumhur Ulama dengan alasan orang yang buta mampu berjalan sendiri. Memang ia tidak mampu pergi karena tidak mengetahui jalan, namun bila ada yang menuntunnya, maka dia akan mampu. Sehingga ia sama seperti orang yang tidak buta namun tersesat jalan. Juga terbukti sebagian orang buta ada yang bisa pergi menghadiri shalat jum’at sendiri tanpa penuntun. Mereka bisa berjalan di pasar tanpa ada yang mengiringi atau menuntunnya.

Mereka ini jelas di wajibkan menghadiri shalat jum’at. Dengan demikian jelaslah yang râjih adalah pendapat jumhur ulama ini.

Hukum Shalat Berjama’ah Bagi Orang Buta

Para Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Pendapat yang rajih adalah orang buta tetap berkewajiban melaksanakan shalat dengan berjamaah, dengan dasar hadits Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

” Seorang buta mendatangi Rasûlullâh shalallahu ‘alaihi wa salam seraya berkata, ” Wahai Rasûlullâh, aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid.” Lalu ia memohon kepada Rasûlullâh shalallahu ‘alaihi wa salam agar diberi keringanan sehingga boleh shalat di rumah. Rasûlullâh shalallahu ‘alaihi wa salam pun memberikan keringanan. Ketika orang buta tersebut pergi, beliau shalallahu ‘alaihi wa salam memanggil orang itu lagi dan bertanya, ” Apakah kamu mendengar adzan ?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Penuhilah panggilan (adzan) tersebut!” ( HR Muslim, no. 1044 )

Juga hadits Amru bin Umi Maktum radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :

أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي فَهَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي قَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً

” Beliau bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam seraya berkata, ” Wahai Rasûlullâh, saya orang buta, rumah saya jauh, saya memiliki penuntun namun tidak cocok. Apakah ada keringanan bagi saya untuk shalat di rumah?” Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Apakah kamu mendengar adzan ?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Saya tidak menemukan keringanan bagimu.” ( HR Abu Daud, no. 565 )

Dalam riwayat Ibnu Hibbân, terdapat lafadz :

فَأْتِهَا وَلَوْ حَبْوًا

” Datangilah shalat berjama’ah itu meskipun dengan merangkak.

Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syâfi’iyah dan Hanabilah serta Zhahiriyah.

Orang buta berhaji

Orang buta wajib berhaji apabila memiliki perbekalan dan kendaraan serta orang yang menuntun dan menunjukkan jalan. Inilah pendapat yang rajih yang juga merupakan pendapat mayoritas Ulama dan. Wallâhu a’lam.

Demikianlah beberapa hukum dan masalah yang berkenaan dengan ibadah orang buta, semoga bermanfaat.

[ Makalah ini diringkas dari thesis Syaikh Muhammad Umar Shaghir yang berjudul : Ahkâmul A’mâ fil Fiqhil Islâmi, diajukan sebagai syarat mendapatkan gelar magister di fakultas syari’at di Universitas ummul Qura’ Mekah. ]

  • Artikel ini diposting oleh Website Seindah Sunnah
  • Mohon menyebutkan link dari kami jika antum mengutip dari kami
  • Tanya Jawab Seputar Universitas Islam Madinah ke +62 8528 33322 39 atau klik ini 
Segera daftarkan nomer antum untuk mendapatkan Broadcast Dakwah WhatsApp Seindah Sunnah, klik ini
  • Kurma Ajwa Nabi Asli Madinah Grosir dan Eceran klik ini
Dukung Seindah Sunnah dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
  • IKLAN di Website ini hubungi WhatsApp berikut : +62 8528 333 22 39
  • REKENING DONASI : Bank Syariah Indonesia 454-730-6540 a.n. Musa Jundana
  • Mohon untuk konfirmasi donasi ke WhatsApp berikut : +62 8528 333 22 39

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.